Wednesday, March 4, 2015

Baju dan Sepatu

Cerpen ini merupakan karya saya yang (tidak) lolos Kampus Fiksi (KF), Diva Press 2014.

Baju Dan Sepatu
Kasus kecelakaan dengan korban dua orang tewas yang melibatkan RAR (22), putra bungsu Gubernur Y telah terbukti melanggar dua pasal…
***
Dahiku panas luar biasa. Waktu aku mengernyit tidak ada kerutan aku rasakan di dahi. Mati rasa aku agaknya?.
Tusukan jarum kecil di lengan bikin seluruh tanganku linu. Pelan- pelan mataku menutup. Badanku sudah tidak terasa panas lagi.
Suara tirai ditutup. Nyala redup lampu warna putih tepat di atas kepala. Semua terhidang jelas di kuping dan sisa sudut kelopak mataku yang masih terbuka. Aku terbang…
“Bagaimana Dok?” suara wanita di balik tirai.
“Terlambat…,”
Aku terbang…
“Biar saja. Tidak ada keluarga yang mencari dia. Dia pun tidak punya tanda pengenal dan tinggal di perkampungan liar,”
***
Usiaku delapan. Kali pertama aku melihat mobil- mobil gemuk dengan antena di atapnya parkir sembarangan di sekeliling kampung.
Lapangan bermain kami lama- lama habis di isi mobil- mobil gemuk yang jumlahnya makin banyak tiap hari. Seorang lelaki yang namanya Suradi meniupi peluit. Dia memerintahkan mobil- mobil itu mundur, maju, belok ke kiri dan ke kanan. Dia dilempari dengan uang setelahnya.
Suradi. Tetangga yang tinggalnya di lantai bawah kamar yang kami sewa.
Dulu, kamar kami sehari- harinya penuh gelas plastik bekas siap jual. Sekarang, kamar kami penuh kotak warna- warni berpita, sepatu- sepatu mengkilat seukuran aku, Kakak dan dua adikku. Kertas kecil bertuliskan harga ratusan ribu menempel pada benda- benda itu.
Kilat kamera mulai menerpa muka kami tiap pukul enam pagi. Jam dimana biasanya Ibu mulai mengomel karena kami telat bangun dan tidak bakal kebagian air di MCK.
Kami jarang pergi sekolah. Kami jarang pergi bermain. Ibu bilang biar kami tidak ketemu kilat kamera yang bisa membuat mata kami buta.
Berempat. Seharian televisi kami pandangi. Disana selalu saja ada gambar kami. Orang- orang ganteng dengan dasi di dada selalu pasang tampang berkaca- kaca. Berulang- ulang mereka berkata,“Turut prihatin. Kami akan berjuang bersama mereka”. Ibu bilang, mereka cuma pembaca berita. Membaca apa yang ada di atas kertas baru kemudian bertutur.
Lama- lama kami rajin mencobai baju dan sepatu yang berserakan di dalam kamar. Ibu selalu menangis. Baju dan sepatu yang tengah kami genggam direbut kemudian di lempar ke lantai.
“Bapak kalian tidak akan pernah bisa ditukar dengan baju dan sepatu ini!. Kita bisa menyusul bapak karena semua ini!” Ibu selalu menjeritkan hal yang sama berulang- ulang.
Tiap Ibu menjerit, kami duduk meringkuk di sudut kamar. Kami ketakutan. Baju dan sepatu cuma berani kami coba waktu Ibu tidak ada.
“Lalu, apa rencana Ibu setelah ini?” wanita berambut hitam kemerahan dengan lambang stasiun televisi X di lengannya, mulai memasang muka sendu dan nada sedih waktu menanyai Ibu.
“Saya akan mengutamakan pendidikan anak- anak,” Ibu selalu berkata begitu sambil memeluk siapa saja di antara kami yang sedang ada di sisi kiri dan kanannya.
Tiap akhir pekan pemuda- pemuda usia dua puluhan datang juga membawa kamera. Ibu tidak pernah menjawab pertanyaan mereka. Keningnya sudah di tempeli koyo dan matanya merah tiap menolak keinginan mereka buat menanyai Ibu.
Kami makin malas keluar rumah. Tiap keluar rumah, pemuda- pemuda yang tidak berhasil mendapat izin Ibu untuk bertanya itu mengerumuni kami bersama para tetangga.
Kueja pelan nama di dada pemuda- pemuda itu, ‘Per-s Ma-has-iwa’ tulisannya. Usiaku delapan. Aku masih mengeja.
Kertas- kertas warna hijau bergambar foto kami, selalu ada di tangan para tetangga tiap hari senin. ‘Keadilan Roboh. Kami Akan berjuang Bersama Mereka’. Selalu ditulis kalimat yang sama di bawah foto kami. Kakak selalu bilang bahwa mereka yang menulis dan mengambil foto kami itu bakal membantu kami, makanya mereka menulis hal yang sama di bawah foto  itu.
***
“Menurut saya, Ibu mesti menuntut biaya pendidikan anak- anak sampai mahasiswa!” pria berambut tipis bicaranya berapi- api.
“Oh. Malah menurut saya, Ibu lebih baik juga menuntut tunjangan tiap bulan untuk anak- anak,” pria yang sepertinya paling tua umurnya, berusaha bicara lebih kalem.
Mereka. Dua dari tiga pengacara yang berkunjung di kamar kontrakan kami hari ini.
“Tidak… tidak Tuan- Tuan. Saya cuma ingin orang yang sudah membuat suami saya meninggal dihukum. Itu saja,” mata Ibu berkaca- kaca.
“Ya. Bisa. Saya sudah sering menangani kasus semacam keluarga Ibu. Akan tetapi, kasus- kasus tersebut tidak ditampilkan besar- besaran di media. Pelaku itu pasti bisa di hukum. Ibu tinggal pilih pengacara. Saya sendiri bersedia untuk tidak dibayar. Ini tragedi kemanusiaan yang luar biasa,” satu- satunya pria berpakaian putih berkata paling akhir. Mata Ibu simpatik padanya. Mereka saling bersalaman. Dua pengacara lain melirik marah.
“Terimakasih kepercayaan Ibu. Saya akan berjuang bersama keluarga ini. Ini tragedi…,”
“Terimakasih Tuan Bima… terimakasih…,” Ibu menangis.
Bima. Nama pengacara yang di pilih Ibu.
***
Tok Tok Tok
Palu diketuk. Jerit memuji- muji Tuhan menggema dimana mana.
“Hukuman percobaan satu tahun…,” banyak orang berbisik. Kakakku cuma diam. Dua adikku sibuk bermain puzzle baru, salah satu isi dari kotak warna- warni berpita di kamar sewaan kami.
***
“Tuan Bima… Tuan Bima… cuma begini saja?” Ibu menarik- narik baju putih Tuan Bima.
Tuan Bima mukanya dingin. Dia tersenyum sopan, mengangguk kemudian pergi.
Pemuda berbaju oranye bertulis ‘TAHANAN’ tersenyum seperti orang menang perang. Sisi kiri kanannya ada pria tampan berdasi. Mereka seingatku pengacara yang tidak dipilih Ibu.
Mereka semua buru- buru keluar ruangan. Mereka masuk ke sebuah mobil hitam mengkilat. Seorang wanita paruh baya berkulit putih menyambut si pemuda di pintu mobil. Pemuda itu di hujani pelukan dan ciuman.Wanita itu barangkali Ibunya. Sering dia dipanggil ‘Ibu Gubernur’.
***
Mobil- mobil gemuk dengan antena di atapnya mulai jarang masuk ke dalam kampung. Wanita- wanita dengan tulisan televisi X di lengan jumlahnya jauh berkurang. Kilatan kamera cuma datang sehari sekali sekarang. Para tetangga mulai sibuk di rumah masing- masing. Rumah mereka dipenuhi dengan gelas- gelas plastik kosong, sama seperti kamar sewaan kami. Pemuda- pemuda yang ngotot menanyai Ibu dan datang tiap akhir pekan bahkan sudah menghilang.
Kami sudah tenang berkeliaran di jalanan kampung. Televisi sudah tidak menayangkan gambar kami seharian.
Mendadak siang itu Ibu menyuruh kami berkumpul di kamar. Seorang perempuan mencecar kami semua dengan pertanyaan seputar Bapak. Lelaki di sisi kirinya memanggul kamera.
Kami semua muncul lagi di televisi malam harinya. Kakak bilang, hukuman yang di dapat orang yang membuat Bapak meninggal tidak sebanding. Jadi kami muncul lagi di televisi. Mereka bakal membantu kami kata Kakak. Ya. Mereka yang di televisi bakal membantu kami.
Para tetangga berkerumun kembali esoknya. Mobil gemuk dengan antena di atapnya datang lagi meski tidak sebanyak dulu. Itu semua cuma tiga hari. Setelahnya para tetangga kembali sibuk di rumah masing- masing. Mobil- mobil gemuk tidak ada lagi yang datang.
***
Mulutku dibekap Kakak. Dua adikku di masukkan dalam truk. Ibu badannya tidak bergerak. Badannya diseret dari semak- semak ke dalam truk.
“Sudah enak anak- anakmu dapat biaya hidup. Masih saja ngoceh soal keadilan- keadilan,” pria berkepala pelontos terus mengomel sambil menarik badan Ibu makin masuk ke dalam bak truk.
Mesin truk menyala. Truk melaju dan hilang di jalan turunan. Malam itu kakakku mulai menjerit kemudian tertawa. Pipi dan matannya makin basah. Badannya di banting ke tanah. Dia berguling- guling.
“Bapak kalian tidak akan pernah bisa ditukar dengan baju dan sepatu ini!. Kita bisa menyusul bapak karena semua ini!” ucapan Ibu berulang- ulang masuk di kupingku.
Ini pasti gara- gara kami. Kami suka menyentuh baju dan sepatu itu. Ibu menyusul Bapak begitu juga dua adik kami. Dua kaki aku mundurkan kebelakang. Aku sangat ketakutan. Kakakku terus menjerit dan menggeliat di tanah. Kemudian, aku lari menjauhi dia. Sejauhnya.
***
“Tuan Bima. Aku Bayu. Anak yang tinggal di kampung pemulung itu. Anak yang tinggal di kamar sewaan lantai dua itu. Ibuku sudah pergi menyusul Bapak. Badannya dibawa orang- orang berbadan besar yang terus mengomel. Dua adikku dibawa mereka juga,” kupegang erat pundaknya. Dulu tinggiku sepinggangnya. Sekarang dia setinggi kupingku saja.
“Oh iya. Nomor telepon anda berapa? biar saya catat,” aku menyebut deretan nomor telepon. Tuan Bima menuliskannya di sebuah kertas kemudian buru- buru masuk ke dalam sebuah mobil mengkilat warna putih. Aku senang. Aku pasti dibantu.
Limabelas detik kemudian. Kertas kosong yang aku kira digunakan buat menulis nomorku melayang tepat di depan keningku. Jadi, dia cuma pura- pura menulis lantas membuang kertas itu dari jendela mobil.
Kepala aku tunduk. Kuambil tongkat pel. Tongkat pel aku gosokkan sekenannya di lantai.
Aku sekarang seorang tukang pel.
***
Nyala api membuat mataku silau sekali. Sekelilingku penuh asap hitam. Sesak. Badanku panas. Kulitku mengelupas. Mataku tertutup.
Dahiku panas luar biasa. Waktu aku mengernyit tidak ada kerutan aku rasakan di dahi. Mati rasa aku agaknya?.
Tusukan jarum kecil di lengan bikin seluruh tanganku linu. Pelan- pelan mataku menutup. Badanku sudah tidak terasa panas lagi.
Suara tirai ditutup. Nyala redup lampu warna putih tepat di atas kepala. Semua terhidang jelas di kuping dan sisa sudut kelopak mataku yang masih terbuka. Aku terbang…
 “Bagaimana Dok?” suara wanita di balik tirai.
“Terlambat…,”
Aku terbang…
“Biar saja. Tidak ada keluarga yang mencari dia. Dia pun tidak punya tanda pengenal dan tinggal di perkampungan liar,”
***
Sebanyak 20 rumah semi permanen pemulung terbakar sekitar pukul 15.00. Seluruh harta benda dalam rumah- rumah semi permanen tersebut ikut di sapu si jago merah. Polisi menyimpulkan penyebab kebakaran adalah karena korsleting listrik…
TAMAT










2 comments:

Christopher Salim said...

Menurut opiniku sih konfliknya kurang tegang. Gitu aja. Narasi udah oke.
Btw, bisa jadi ini kriteria mereka dlm memilih cerpen, Kak. Mereka punya silabus sendiri bentuk pdf.
http://ilarizky.blogspot.com/2013/11/silabus-menulis-fiksi-kampus-fiksi.html?m=1
Gagal bukan halangan kok. Semangat!

Ken Hanggara said...

Ini bagus ceritanya. Hanya soal EYD dan tanda baca banyak yang salah.